18 April 2012

Daerah Bangkrut Bakal Dilikuidasi

JAKARTA - Ancaman keras datang dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terhadap daerah-daerah yang terancam bangkrut. Institusi pimpinan Gamawan Fauzi itu bakal mengambil tindakan tegas yakni melikuidasi daerah tersebut. Opsinya, dimerger dengan daerah terdekat atau diambil alih pusat.

Dirjen Otonomi Daerah Djoehermansyah Johan mengatakan, bakal ada review terhadap daerah-daerah otonomi. Nah, pada 25 April nanti akan diumumkan daerah mana saja yang dianggap terancam kolaps. "Kalau tidak bisa ditolong, terancam dilikuidasi. Bisa dengan daerah terdekat atau pusat," ujar Djohermansyah kepada Jawa Pos, Selasa (10/4).
   
Seperti diberitakan sebelumnya, Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) merilis 291 kabupaten/kota yang memproyeksikan belanja pegawainya lebih dari 50 persen. Ironisnya, 11 di antara daerah-daerah tersebut memiliki belanja pegawai lebih dari 70 persen. Gara-gara itu, daerah tersebut terancam kolaps karena tidak lagi memiliki anggaran.
     
Kesebelas daerah itu adalah Kota Langsa (NAD), Kabupaten Kuningan (Jabar), Kota Ambon (Maluku),
Kabupaten Ngawi (Jatim, Kabupaten Bantul (Jogjakarta), Kabupaten Bireuen (NAD), Kabupaten Klaten (Jateng), Kabupaten Aceh Barat (NAD), Kota Gorontalo (Gorontalo), Kabupaten Karanganyar (Jateng), dan Kota Padang Sidempuan (Sumut).
     
Lebih lanjut Djoehermansyah menjelaskan kalau daerah tersebut tidak akan dilikuidasi begitu saja. Daerah yang terindikasi akan dilakukan pembinaan terlebih dahulu. Tahapannya adalah, evaluasi, dipelajari pokok permasalahan, dibimbing dengan asistensi lantas peringatan dan terugaran kalau tetap tidak berubah. "Memang harus ada penalti yang tegas," katanya.
     
Dia enggan membocorkan data daerah mana saja yang masuk dalam rapor merah Kemendagri. Yang jelas, tindakan itu perlu dilakukan untuk menyelamatkan daerah otonomi. Harapan agar daerah mampu mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk membiayai kepentingan operasional pemerintah, ternyata jauh dari harapan. Faktanya, daerah malah keteteran dalam mengatur keuangan.
     
Apalagi kalau masuk musim pilkada. Djoehermansyah menyebut, dana tersisa ikut tersedot ke pilkada. Padahal dana yang tersisa dari belanja pegawai tinggal sedikit. Ujung-ujungnya, pembangunan daerah bisa macet saat pilkada datang. "Saat ini tidak ada daerah yang belanja aparaturnya ideal," terangnya.
     
Idealnya, lanjut Djoe, alokasi belanja aparatur "hanya" 40 persen dari belanja daerah. Tidak seperti sekarang yang bisa mencapai 76 persen untuk belanja pegawai. Beruntung, daerah-daerah tersebut dibantu pemerintah dengan Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga roda pembangunan masih bisa berjalan.

 (dim/owi/wan/kuh)

.http://m.jpnn.com/news.php?id=123821