28 May 2015

SIARAN PERS DHANYANG SETYOWATI SUKODOK MEMBANGUN RUMAH

SIARAN PERS
DHANYANG SETYOWATI SUKODOK MEMBANGUN RUMAH


Setelah peri Setyowati, sebagai dhanyang Sendhang Margo dan Sendhang Ngiyom di hutan Begal, Ngawi, dikawini seniman Kodok Ibnu Sukodok pada tanggal 8 Oktober 2014, di desa Sekaralas, Ngawi, Jawa Timur, di dalam sebuah karya “seni-kejadian” (happening art) karya Bramantyo Prijosusilo, maka diceritakan bahwa saat ini Setyowati sedang hamil tua dengan kandungan yang berisi bayi kembar dampit (lelaki dan perempuan), dan oleh sebab itu maka Setyowati meminta untuk dibuatkan rumah. Memang menjelang kawin dengan Kodok di alam manusia, Setyowati telah meminta agar Sendhang Margo dan Sendhang Ngiyom di Alas Begal, yang telah rusak dan semakin rusak sejak Reformasi itu, diperbaiki keadaannya. UU41/2009 memberi tuntunan mengenai daerah penyangga mata-air yang harus dikonservasi, maka UU itupun menjadi dasar hukum pembangunan rumah Setyowati, berupa hutan konservasi di daerah penyangga mata-airnya.
Oleh karena itu sejak sebulan lalu lebih Bramantyo bersama Godeliva D. Sari, Zen Zulkarnaen, Mamang Budi Santoso dan Anang Budiawan dari Komunitas Hijau Ngawi, sibuk menggalang dukungan dari masyarakat dan elit Ngawi, untuk suksesnya pagelaran seni kejadian “Dhanyang Setyowati Sukodok Membangun Rumah” yang menurut rencana akan dilaksanakan di hutan Begal, pada tanggal 6-7 Juni 2015 mendatang. Seni kejadian yang melibatkan banyak pihak sejak dari konsepsi sampai pada eksekusinya itu bertujuan menguatkan kohesi sosial dan melindungi mata-air dan hutan.
Seni kejadian “Dhanyang Setyowati Sukodok Membangun Rumah” merupakan karya proses yang durasinya sangat panjang. Diawali dengan rapat “kumbakarnan” bersama jajaran Pemkab Ngawi dan Perhutani di rumah Bramantyo di desa Sekaralas pada tanggal 10 Mei lalu, dilanjutkan dengan pemasangan kain mori melingkari kedua sendhang, bersama masyarakat desa-desa tepi hutan, di tanggal 14 Mei lalu, dan setelah acara pada tanggal 6 dan 7 Juni itu maka prosesnya akan terus bergulir dan diolah sampai pada akhir Oktober 2015 saat awal musim hujan dan Perhutani sebagai pemangku dan pengelola kedua mata-air yang menjadi rumah dhanyang itu memulai musim tanam.
Proses yang panjang itu dibutuhkan agar karya seni-kejadian ini memiliki dampak nyata, yakni konservasi mata air dan hutan, serta kohesi sosial.
Karena itu antara Juni dan Oktober, tim seni kejadian akan bekerjasama dengan ahli-ahli ekologi, kehutanan, antropologi, pertanian, peternakan, lanskap, serta ahli-ahli budaya dan masyarakat desa-desa tepi hutan yang terdampak, untuk mencapai dua sasaran. Sasaran pertama adalah untuk memiliki peta rinci mengenai lahan konservasi kedua mata-air tersebut, sampai pada lokasi penanaman pohon-pohon konservasi yang telah matang dibahas dan disiapkan: titik mana, ditanami pohon apa, oleh siapa, dengan alasan apa? Diusahakan setiap titik yang ditanami memiliki dasar kuat dari setidaknya tiga sisi, yakni dari segi ekologi, segi budaya, dan segi estetika. Setiap pohon yang ditanam hendaknya ditanam oleh anak-anak dari lingkungan masyarakat desa tepi hutan dibantu pamongnya sehingga ke depan ada rasa memiliki yang kuat dari masyarakat pemangku kepentingan yang terdekat.
Saat ini lahan yang semestinya berfungsi sebagai daerah penyangga mata-air di kedua sendhang tersebut, banyak dialihfungsikan oleh masyarakat yang mencetak sawah di areal hutan dan dengan demikian mematikan pohon-pohon kayu yang ditanam Perhutani. Masyarakat yang ‘menjarah’ lahan ini adalah pihak yang paling terdampak dalam arti dirugikan oleh proses seni-kejadian ini. Oleh karena itu, merekalah ujung tombak konservasi yang perlu diyakinkan untuk berhenti mencetak sawah di areal konservasi dan mengembangkan perekonomian alternatif. Untuk itu, tim seni-kejadian sedang merancang suatu prosesi untuk bulan Oktober nanti, yang mana prosesi dramatis itu akan dapat diulang dan dikerjakan masyarakat desa tepi hutan setiap tahunnya, dengan dukungan dari Dinas Pariwisata pemerintah kabupaten, sebagai kegiatan seni-budaya yang mampu menggerakkan perekonomian setempat. Selain itu, pihak Dinas Kehutanan pemerintah kabupaten Ngawi juga sudah siap untuk memberikan bantuan bibit-bibit hijauan pakan ternak dan wakil Bupati Ngawi telah siap memberikan bantuan ternak kepada para petani yang membuka sawah di lahan hutan di sekitar kedua mata-air yang menjadi sasaran kegiatan konservasi tersebut. Dengan pengalihan kegiatan ekonomi itu diharapkan bahwa masyarakat yang kini ‘menjarah’ lahan hutan dapat beralih menjadi ujung tombak konservasi.
Pada malam hari Senin, tanggal 18 Mei 2015 lalu, tim seni-kejadian telah mengadakan rapat intensif dengan Bupati Ngawi Ir Budi Sulistyono dan kepala-kepala dinas terkait di pendopo kabupaten Ngawi, untuk menyiapkan acara tanggal 6 dan 7 Juni di hutan Begal tersebut. Tanpa mengganggu APBD dinas-dinas terkait telah berkomitmen untuk membantu terlaksananya seni-kejadian ini sesuai dengan tupoksi masing-masing. Misalnya, dinas pekerjaan umum telah meninjau lokasi dan akan melakukan pengurukan untuk memperbaiki jalan akses lokasi. Dinas pengairan akan menguras dan membersihkan kedua mata-air yang seharusnya mengairi 1431 hektar sawah di bawahnya. Dinas kesehatan akan menyiapkan tenda pos kesehatan untuk acara di hari H. Dinas pendidikan membantu mengerahkan anak-anak SD dan SMP setempat sebagai ujung tombak kejadian. Perhutani akan menentukan batas-batas daerah penyangga mata-air menurut UU untuk disaksikan masyarakat luas. Dinas Pariwisata akan membantu menyelenggarakan beberapa pentas kesenian rakyat. Sedangkan masyarakat luas terutama dari desa-desa yang terdampak, membantu dengan kerja bakti dan menyediakan tampilan kesenian rakyat serta tumpeng dan ingkung untuk selamatan pada saat pagelaran seni kejadian tanggal 6-7 Juni mendatang itu.
Seni kejadian Setyowati Sukodok Membangun Rumah ini, akan didukung oleh antara lain, musisi Misbach Bilok, Wukir Suryadi, komunitas Song Meri dari Pacitan, penari Wirastuti Susilaningtyas dari Solo, kesenian rakyat Ngesti Manunggal dari lereng gunung Merapi dan dalang wayang sabet Ki Sudirman Rangga Darsono, dan ilmuwan politik, MAS Hikam serta KH Zastrouw Ngatawi.
Bramantyo Prijosusilo,
21/05/2015
SELESAI