Kata "rancang bangun" rasa nya tidak jauh berbeda dengan makna "me-rekontruksi kembali". Tapi ada juga yang menyebut nya sebagai "re-design". Bagi kita, kata ini menjadi sangat penting, manakala terekam ada "kebuntuan" atas persoalan yang dihadapi dan membutuhkan ada nya "paradigma" baru dalam mencarikan solusi terbaik nya. Merancang-bangun suatu konsep, pada hakekat nya merupakan upaya untuk melahirkan ide dan pemikiran baru yang spirit nya mampu membawa perubahan dan gerak langkah ke arah yang lebih baik lagi.
Merancang-bangun lagi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai bagian kebijakan "revitalisasi" yang dicanangkan 11 Juni 2005 di Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, rupa nya kini sudah sangat mendesak untuk ditempuh. Salah satu pertimbangan pokok nya adalah karena dunia penyuluhan paska terbit nya Undang Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehitanan, benar-benar mengalami tantangan yang sangat berat. Kesan kelahiran UU ini menjadi penyebab melorot nya kinerja penyuluhan di lapangan, kini muncul menjadi bahan diskusi yang menghangatkan.
Sejarah mencatat, peran penyuluhan pertanian dalam menggapai swasembada beras tahun 1984 lalu, betul-betul telah berwujud nyata. Pengakuan ini, tidak sekedar datang dari dalam negeri, tapi bangsa-bangsa lain pun banyak yang tabek atas kisah sukses tersebut. Selain kerja keras para petani dan dukungan anggaran yang tak terbatas, keberadaan penyuluhan pertanian, khusus nya transfer teknologi yang diberikan para penyuluh kepada petani, jelas menjadi salah satu kunci sukses pencapaian swasembada beras tersebut.
Mengacu pada konteks kekinian, dimana banyak hal yang telah berubah dalam dunia pembangunan pertanian, strategi penyuluhan pertanian yang perlu ditempuh, tidak cukup hanya berorientasi kepada upaya peningkatan produksi semata, namun juga sudah saat nya dipikirkan soal harga, distribusi, pemasaran, paska panen, penganeka-ragaman, konsumsi dan keamanan pangan. Dalam pengertian yang lebih umum, kita butuh paradigma penyuluhan ketahanan pangan, yang materi nya melingkupi hal-hal yang telah dikemukakan diatas tadi. Masalah nya adalah apakah para penyuluh di lapangan sudah siap dengan materi-materi yang bakal disuluhkan nya ?
Penyuluhan Ketahanan Pangan sendiri, pada inti nya merupakan proses pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan yang ditujukan kepada kaum tani dan keluarga nya, juga komponen bangsa lain, agar terjadi perubahan perilaku (sikap, tindakan dan pengetahuan) dalam melakoni kehidupan nya guna menuju kesejahteraan yang sejati. Secara substantif, paling tidak ada 3 hal penting yang harus diberi bobot khusus dalam merancang paradigma penyuluhan ketahanan pangan ini, yakni aspek ketersediaan dan cadangan pangan, aspek distribusi dan harga, termasuk akses pangan dan aspek konsumsi dan keamanan pangan nya sendiri.
Selain, berbagai hal yang telah dikemukakan diatas, penyuluhan ketahanan pangan pun sangat membutuhkan ada nya peran "kelembagaan" lain yang menopang. Hal ini penting dicermati, karena penyuluhan ketahanan pangan memiliki cakupan materi yang sangat luas dan multi disiplin. Keadaan ini tentu sangat berbeda dengan paradigma penyuluhan pertanian masa lalu, yang tugas utama nya lebih diarahkan pada usaha meningkatkan produksi. Paradigma Penyuluhan Ketahanan Pangan yang ingin kita lahirkan jelas akan memiliki makna yang lebih dalam, sekaligus juga melibatkan banyak pihak.
Salam,
(Suara Rakyat)
No comments:
Post a Comment