Prolog
:
Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah
seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja
Râjasanagara. Ia masih saudara sang raja yaitu keponakannya (bhrâtrâtmaja dalam
bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.
Nama “Tantular” terdiri dari dua kata: tan (“tidak”) dan
tular (“tular” atau “terpengaruhi”). Artinya ia orangnya ialah “teguh”.
Sedangkan kata mpu merupakan gelar dan artinya adalah seorang pandai atau
tukang.
Tantular adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia
orangnya terbuka terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini
bisa terlihat pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya
dan terutama kakawin Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini
diambil menjadi motto atau semboyan Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”
atau berbeda-beda namun satu jua
(Sumber
:Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.)
I.
KISAH SUTASOMA
Pada zaman-zaman
dahulu, Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma dalam berbagai raja-raja di dunia,dan
pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Kala.
Buddha bereinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina,
prabu Mahaketu. Putranya ini bernama Sutasoma. Maka setelah dewasa Sutasoma
sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang
akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang
Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.
Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah
huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu
dihibur oleh orang banyak.
Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah
kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang
pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki
pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di
sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja,
reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.
Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau
Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu,
hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan
tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke
sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang
raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena
beliau memang reinkarnasi raksasa. Kemudian beliau bertanya kepada sang juru
masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa
tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu beliaupun gemar makan daging
manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri.
Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun
menjadi raksasa dan tinggal di hutan.
Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada
batara Kala jika beliau bisa sembuh dari penyakitnya ini.
Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja
ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya.
Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.
Maka
berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa
ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan
mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa
Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia
mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh
membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.
Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor
naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.
Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina
yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh
sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja
bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun
diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi
setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis,
menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu
harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.
Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada
melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai
Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun
berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi
prabu Sutasoma.
Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah
mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara
Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada
memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka beliau berhasil ditangkap.
Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala.
Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Kerelaan ini
sangat menyentuh hati Kala, bahkan Porusada pun menjadi terharu. Dewa Siwa yang
menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena
disadarinya bahwa Sutasoma adalah Buddha sendiri. Mangka Jinatwa lawan
Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa (Hakikat
Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda dalam perwujudan eksoterisnya
tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama).
(Sumber
: Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi, 1952).
II. SUTASOMA dan BUNG KARNO
SUATU
malam di tahun 1962, bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau Dewata cerah
bermandikan cahaya purnama. “Saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi,”
kata Bung Karno usai pementasan wayang sambil menghampiri I Nyoman Granyam,
seorang dalang dari Sukawati, yang khusus diundangnya untuk melakonkan
Porusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal dengan
lakon Sutasoma itu.
Lalu
Bung Karno mensitir ungkapan bahasa Jawa kuno yang dimaksud, “Nanging hana
pamintaku uripana sahananing ratu kabeh” (Tetapi permohonanku, hidupkanlah
raja-raja itu semua). Itulah ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada, sambil
menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1.
Dari karya Tantular ini berasal istilah “bhinneka tunggal Ika” yang menjadi
simbol dalam Lambang Burung Garuda Indonesia-ungkapan yang menurut Dr Soewito
dalam tulisannya Sutasoma, A Study in
Javanese Wajrayana (1975)- “is a
magic one of great significance and it embraces the sincere hope the whole
nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian
Pancasilaist community”.
2.Perhatian
yang diberikan Bung Karno pada ucapan Sutasoma “Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana
dharma mangrwa (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda
dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme
dalam kebenaran ketuhanan)”. Yang kedua ini menjadi sangat penting sebab inilah
yang menjadi akar keyakinan agama-agama yang ada di Indonesia, sebagaimana
sesuatu akar keyakinan yang dipegang oleh Bung Karno selama hidupnya. (Sebagian
menganggapnya sebagai faham Pantheisme),
3.
Perhatian yang diberikan Bung Karno pada kisah Sutasoma yang rela mengorbankan
dirinya sendiri demi selamatnya seratus raja. Merupakan symbol dari pemecahan
masalah kemajemukan bangsa (Pluralitas) dimana banyak raja-raja yang akan
“selamat” tetap hidup, alias tidak dimatikan meski dengan terbentuknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Adanya Negara kesatuan dengan tetap menghormati
akan hak para raja-raja, seperti Raja dari Keraton Jogjakarta sebagai salah
satu daerah istimewa, dan juga Raja-raja diseluruh kerajaan di Indonesia. Tidak
ada yang dimatikan dengan adanya Negara kesatuan republik Indonesia. Sebab itu,
maka istilah “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai lambang pemersatu bangsa menjadi
luar biasa tepatnya sebagai sebuah refleksi dari cerita Sutasoma di masa Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4.
Dan seolah menjadi keyakinan yang mendarah daging pada diri Bung Karno,
ternyata jalan yang sama seperti yang ditempuh Sutasoma akhirnya ditempuh oleh
Bung Karno demi menyelamatkan bangsanya dari pecahnya “perang saudara”
pasca-Gestok (Gerakan 1 Oktober) 1965. “Seorang anak revolusi akan dimakan oleh
api revolusinya sendiri”, demikian kurang lebih ucapan Bung Karno. Dan seperti
Sutasoma, Bung Karno justru menyerahkan dirinya sendiri, rela tenggelam demi
keutuhan bangsa dan negaranya. “Cak Ruslan, saya tahu saya akan tenggelam.
Tetapi ikhlaskan Cak, biar saya tenggelam asalkan bangsa ini selamat, tidak
terpecah belah”, tegasnya kepada Ruslan Abdulgani.
II.1.
Bung Karno di mata kawan dan lawan politiknya
Bung Karno adalah sosok yang kontroversial. Di
mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air-nya sendiri, sebagian menganggap ia
mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan
menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”. Akan tetapi, di
mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida
adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari
gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang
di negerinya sendiri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu
sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara
asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin”
(tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan
oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
Di mata lawan politiknya di Barat, seperti
tampak dari ucapan Willard A Hanna, Bung Karno adalah “politisi tanpa identitas
dan tanpa prinsip, yang berpadu dalam dirinya nabi dan playboy, tukang sulap
dan tukang obat”. Tetapi, orang-orang Arab menamakannya Ra’is, dan orang-orang
Mesir di Kota Cairo menjulukinya al-Hakim. Tak seorang pun meragukan
popularitasnya di negeri-negeri Islam itu. Nama besar Bung Karno diabadikan
antara lain dalam Qamus al-Munjid. Konon, hanya dua tokoh Indonesia yang
dicatat dalam kamus karya Louise Ma’louf, seorang Arab-Kristen itu. Soekarno,
dan satunya lagi Syeikh Nawawi al-Banteni. Sampai-sampai sekarang ini di Rusia,
nama Indonesia sendiri kurang dikenal, tetapi kalau nama Soekarno yang disebut,
baik yang muda maupun yang tua mereka tahu. Bung Karnolah justru yang pernah
mensitir ayat al Quran di sidang PBB yakni surat Hujurat 13, tentang penciptaan
manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal,
sedangkan Negara-negara yang menyatakan diri mereka Negara Islam malahan tidak
pernah menyampaikan ayat al Quran ketika bersidang di PBB. Dan ayat al Hujurat
13 ini yang konon kemudian diabadikan di tempat sidang PBB.
Tatkala
memuncaknya ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status
Palestina, pers sensasional Arab yang salah paham dengan pencabutan sebutan Deicidium (pembunuh Tuhan) kepada kaum
Yahudi, menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah
tiba”. Pada pihak lain, Tahta Suci Vatikan sendiri memberikan kepadanya tiga
gelar penghargaan kepada presiden pertama dari Republik yang mayoritas Muslim
itu.
(Sumber
: Kompas CyberMedia, Jumat, 1 Juni 2001)
II.2.
Keyakinan Religius Bung Karno
Relevansi
mengemukakan keyakinan religius Bung Karno ini, terkait erat dengan peranannya
dalam menentukan masa depan Indonesia, berangkat dari pluralisme agama yang
merupakan problem tersendiri di Negara Indonesia. Kenyataan ini dikemukakan,
dengan sepenuhnya menyadari bahwa mengemukakan spiritualitas Bung Karno adalah
juga merupakan bagian dari kontroversi itu sendiri.
”Gaya religius
Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri,” tulis Clifford Geertz dalam Islam
Observed (1982). Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku
bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz,
pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak
merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-menurut BJ Boland
dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)-”hanya merupakan
perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya
Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan
keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para
agamawan formalis sebagai bid’ah”.
Ungkapan
Bung Karno ini, di mata para penghayat tasawuf bukanlah hal yang asing. Seperti
apa yang disampaikan oleh Ibn Al-’Arabi (1076-1148) mendendangkan kesadaran
yang sama. “Laqad shara qalbiy qabilan
kulla shuratin, famar’a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun li autsanin wa
ka’batu thaifi wal wahu tawrati wa mushafu qur’anin” (Hatiku telah siap
menerima segala simbol, apakah itu biara rahib-rahib Kristen, rumah berhala,
Kabah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al Quran).
Demikian juga dengan istilah yang seolah
berlawanan tetapi sama dengan apa yang disebutkan di dalam salah satu syair
Jalalludin Rumi,”Tidak kutemukan Tuhan di atas tiang salib, tidak kutemukan
Tuhan di dalam Vihara dan Klenteng, tidak juga kutemukan Tuhan di dalam Ka’bah
melainkan kutemukan Tuhan dihati orang-orang suci”
Ketika
menerima gelar doctor honoris causa (doktor kehormatan) di Universitas
Muhammadiyah, Jakarta, Bung Karno menyebut bahwa tauhid yang dianutnya sebagai
Panteis-monoteis. Bung Karno yakin bahwa Tuhan itu satu, tetapi Ia hadir dan
berada di mana-mana. Tentu saja di kalangan Islam dan Kristen, istilah
pantheisme ini sebagian mengundang menjadi salah paham. Kontan saja, orang
langsung menghubungkannya dengan sosok legendaris Syekh Siti Jenar,
“Al-Hallaj”-nya orang Jawa yang mengatakan,”Siti Jenar tidak ada yang ada
adalah Allah”, atau al Hallaj yang mengatakan,”di balik jubahku ini yang ada
adalah al Haq”, atau dengan apa yang disampaikan oleh Syech Yazid Bustami,”Laa ilaha ila anna, fa’budni”,”Tidak ada
Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku” (kutipan dari Al Quran surat Thoha
14), dan coba bandingkan dengan ajaran Hindu Tat Twam Asi (Aku adalah dia, dia
adalah aku). Atau apa yang diyakini oleh Katolik,”Abba ya Bapa” “Bapa didalam
aku dan aku di dalam Bapa”
Sebagaimana juga apa
yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali (wafat 1111), At Tauhid al-khalis an
layaraha fii kulli syai’in ilallah (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Allah
dalam segala sesuatu). Juga, menurut Ibn al-’Arabi, segenap alam semesta adalah
tajjali atau penampakan dari Allah. Atau kadang juga para sufi menyatakan
dengan istilah Laa Maujuda ilalloh, Tidak ada yang wujud melainkan hanya Allah
semata. Dzat Wajibal wujud. Sebagian menyebut faham ini dengan istilah
Wujudiyah atau juga Wahdatul Wujud.
Keyakinan ini sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam al
Quran,”Kemana engkau menghadap di situ yang tampak wajah Allah”
Atau
sesuai dengan apa yang disampaikan oleh sahabat Abu bakar Shiddiq, “Sebelum aku
melihat sesuatu di situ aku melihat Allah”,
Atau seperti yang disampaikan oleh Umar bin Khottob,”Saat
aku melihat sesuatu di situ aku melihat Allah”,
Atau juga seperti yang disampaikan oleh Ali kwh, “Setelah
aku melihat sesuatu, aku melihat Allah”,
Semuanya sama meski istilahnya berbeda-beda, sebab mereka
semua fokus lahir bathinnya, segenap jiwa dan raganya hanyalah terfokus dan
tertuju kepada Allah semata.
Ini
yang kemudian menjadi sila yang pertama dalam Pancalisa “KETUHANAN YANG MAHA
ESA”.
II.3.
Nasionalisme Bung Karno adalah Nasionalisme Agamis
Berangkat dari
keyakinannya terhadap agama Islam itulah, maka Bung Karno faham benar akan
keutamaan “Bakti kepada Orang tua”, “Cinta Tanah Air bagian dari Iman”,dll.
Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti
mencintai Pencipta-Nya. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu diawali dari
Bumi tempat kakinya berpijak, Bumi pertiwi Indonesia yang disapanya dengan
takjub dan hormat sebagai “Ibu”.
Lebih jelas lagi, kita bisa mengikuti deskripsi Bung Karno
mengenai nasionalisme Indonesia yang diungkapkan begitu berapi-api: “Bukan saya
berkata Tuhan adalah Indonesia”, kata Bung Karno, “tetapi Tuhan bagiku
tercermin pula dalam Indonesia”. Singkat kata, di mata Bung Karno, perjuangan
terhadap tanah air, bebasnya tanah air dari tanah penjajahan merupakan wujud
perjuangannya di dalam membela “ibu” kandungnya, tempat dimana ia dilahirkan,
dan merupakan perwujudan kecintaannya kepada Tuhannya yang diwujudkan melalui
Cinta Tanah air. Perjuangan sampai titik darah terakhir demi bebasnya Ibu
Pertiwi ini.
Gambaran ini pulalah
yang menyebabkan lambang Burung Garuda (Garudeya) dipilih sebagai lambing
bangsa Indonesia. Di dalam kisah Garudeya, adalah seorang ibu (lambang ibu
pertiwi) yang sedang ditawan oleh ular-ular raksasa, dan hanya anaknya, sang
Garuda lah yang dapat membebaskan ibunya melalui pencarian terhadap air amarta,
tirta kamandanu, air kehidupan atau dalam istilah al Quran ma’an ghodaqoh.
Meski
begitu, Bung Karno mengatakan, mensitir Gandhi, ” My Nasionalism is humanity”. Dan inilah yang kemudian menjadi sila
ke 2 dari Pancasila, sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang merupakan
wujud dari Nasionalisme di sila ke 3 ,”Persatuan Indonesia”.
II.4.
“Pluralisme” spiritualitas Bung Karno
Latar belakang keyakinan Soekarno seperti yang
diuraikan di atas, sudah barang tentu membentuk dan menentukan sosialisasi
pemikiran keagamaan selanjutnya. Meski begitu, religiusitas Bung Karno itu bukanlah
sinkretisme (percampuran) agama-agama, pluralisme bukanlah sinkretisme agama,
pluralisme bukanlah pencampuradukan agama-agama, dan inilah yang perlu untuk
dipahami. Atau di dalam istilah Bambang Noorseha (tokoh Kristen Syiria
ortodoks), keyakinan Bung karno adalah sebuah “melintas batas” (passing over) berbagai agama dan tradisi
spiritual. Hal itu kata Bambang, tampak dari pidato-pidato tanpa teks, ketika
ia mengemukakan perbandingan-perbandingan dari berbagai agama, tamsil-tamsil
dari ajaran Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Ayat-ayat suci itu dikutipnya
bahkan di luar komunitas agama yang menganutnya. Misalnya, tanpa ragu-ragu ia
mengutip Injil atau Bhagawad Gita di forum Islam. Sebagaimana tanpa ragu-ragu
pula ia mengutip firman Allah di al Quran ketika berpidato di depam
anggota-anggota PBB.
Masih
menurut Bambang Noorseha, warisan keberagaman itu bukan diterimanya sebagai
kontradiksi atau pertentangan, sebaliknya sebagai suatu kekayaan rohani
berdasarkan kesadarannya akan kesatuan transendental agama-agama. Dalam
menggembleng rakyatnya, Bung Karno, misalnya sering mengutip Al Quran. ar Ra’d
11:
Innallaha laa yughayiru maa bi qaumin
hatta yughayiru ma bi anfusihim (Allah tidak mengubah nasib sesuatu kaum sehingga kaum itu
mengubah sendiri nasibnya), tetapi Bung
Karno juga mengutip dari Bhagawad Gita (II,47) ketika menekankan prinsip yang
sama: Karmany ewadhikaras te maphalesu
kadacana (Berjuanglah dengan tanpa menghitung-hitung untung rugi bagimu).
Bahkan Bung Karno
pernah membuat terperanjat Mr Siegenbeek van Heukelom yang mengadilinya di
Landraad Bandung tahun 1930. “Ik ben een
revolutionaire” (Saya seorang revolusioner), tegas Bung Karno. Tetapi kata
dia selanjutnya: “Ik werk niet met bommen
en granaten” (Saya bekerja tanpa bom dan granat). Hakim kolonial itu sangat
kaget, karena Bung Karno menyebut bahwa Yesus adalah seorang yang revolusioner,
meskipun Ia bekerja tanpa kekerasan. “Revolusi”, kata Bung Karno, adalah “eine Umgestaltung von Grundaus”
(perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam hal politik maupun dalam ajaran
keagamaan. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno di luar kepala dapat menghapal
Injil Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda.
Bung Karno hanyalah
salah satu dari mereka tokoh-tokoh Indonesia yang juga berpikiran sama, seperti
Muh. Yamin, Hatta, H. Agus Salim, dll, yang telah begitu mendalami agama Islam
dan juga mendalami agama-agama yang ada di Indonesia, juga termasuk masalah
budaya-budaya yang ada di Indonesia, telah menyatukan bangsa Indonesia melalui
kesepatakan/musyawarah dengan pemilihan symbol-simbol Pluralisme seperti Sang
Merah Putih, Burung Garuda, Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang
kesemuanya merupakan perekat kuat, bangsa Indonesia dengan kemajemukannya dalam
agama, dalam suku, dalam budaya, dalam bahasa, dll.
III.
Multikulturalisme dan Pluralisme
Multikulturalisme lahir di Amerika sebagai
perwujudan dari postmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan
(West,1998;Collins; Lemert,1993) yang mengambil ide dari gagasan postmodernisme
bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka
(Spivak, 1988;, Butler, 1990). Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida
menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya dalam kaitannya dengan
kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari titik
ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternative
yang secara fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman.
Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di
dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang
pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal
kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan
bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara keseluruhan.
Teori
sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social, dengan
menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak
individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai
agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih
dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri, demikian menurut Ben Agger
(2003; 140-141)
Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris)
yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak
hal lain di luar kelompok kita yang harus di akui. Lebih luas lagi, pluralisme
adalah sebuah faham tentang pluralitas, demikian definisi yang disampaikan oleh
Richard J.Mouw dan Sander Griffon dalam bukunya Pluralisme & Horizon (1993:13). Pengertian seperti
ini, menurut mereka, akan lebih bermakna ketika seseorang mengakui dan meyakini
bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai banyaknya perbedaan
itu.
Namun demikian menurut
Nurcholis Madjid (Rachman, 2001; 31), pluralisme tidak dapat dipahami hanya
dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari
berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan
pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negative, hanya ditilik dari
kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai
pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement
of diversities within the bond of civility).
Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary
(2000) disebutkan bahwa pluralisme dapat dipahami sebagai “the existence of many different group ini one society, for example
people of different races or different political or religious beliefs: cultural
or political pluralism”. Jadi Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi
keberagaman etnik atau kelompok-kelompok cultural dalam suatu masyarakat atau
Negara, serta keberagaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan
dan sebagainya. Definisi seperti inilah yang menurut Masykuri Abdillah,
mengandung pluralisme social atau primordial (Achmad, 2001:11). Untuk
merealisasikan dan mendukung konsep tersebut diperlukan adanya toleransi. Sebab
toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan
antarumat beragama yang langgeng, begitupun sebaliknya.
Dari penjelasan di
atas, yakni tentang Multikulturalisme dan Pluralisme, maka bisa dipahami
perbedaan prinsipnya adalah Multikulturalisme berakar dari individualistik,
liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau kekayaan
perbedaan agama, politik, ideology, dan lain-lain, hanya sebatas memahami untuk
tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis),
berbeda dengan Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk
kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong,
gotong royong antar umat beragama, bukan dari sisi pencampuradukan ajaran agama
(sinkretisme), melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya (bersifat
aktif-participatif). Dan ini sesuai dengan apa yang sudah dicanangkan bangsa
Indonesia melalui Undang-Undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas
keTuhanan YME” ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya
itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang ada di lambang burung Garuda Pancasila yakni “Bhinneka Tunggal Ika”
“meski berbeda-beda tetap satu jua”. Juga sesuai dengan sila pertama Pancasila
yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bung Karno pernah menyampaikan bahwa beliau menggali sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” ini dalam sekali, mulai masa Hindu, Budha, dan masa
Islam yang sekarang ini di Indonesia. Dari galian sejarah bangsa yang sebagian
sudah penulis tulis di atas itulah, kemudian diangkat oleh Bung Karno sebagai
dasar Negara kita yaitu Pancasila di
sila yang pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” (1964; 67). Inti dari kultur
bangsa Indonesia menurut Bung Karno adalah terletak pada “gotong royong”, yaitu
sikap yang memiliki toleransi tinggi, saling tolong menolong di antara sesama
penduduk Indonesia, tanpa memandang adanya perbedaan etnis, agama, ekonomi,dan
lain-lain. Inilah akar dari sikap bangsa Indonesia yang meski berbeda-beda tetapi
tetap satu jua “Bhinneka Tunggal Ika”
IV.
Epilog
Dari penjelasan di atas, maka menurut penulis,
bahwa lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep “Bhinneka Tunggal Ika” itu
sekarang lebih sering atau lebih tepat dikatakan merupakan faham Pluralisme, yang
bukan berarti Sinkretisme maupun Multikulturalisme. Inilah yang lebih cocok
dengan sejarah bangsa Indonesia, yang lebih cocok dengan keberagaman Indonesia,
dan yang lebih cocok dengan semangat dan jiwa bangsa Indonesia maka dimasa
keadaan bangsa Indonesia sekarang ini yang sudah tampak kecondongan terpecah
belah, individualis dengan dalih otonomi daerah, tidak lagi muncul sifat tolong
menolong atau gotong royong, semangat “Bhinneka Tunggal Ika” perlu untuk di
sosialisasikan lagi. Api dari Persatuan Indonesia melalui “Bhinneka TUnggal
Ika” perlu untuk dinyalakan lagi di hati anak bangsa. Dan dibagian terakhir ini
saya ingat apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno dalam salah satu
pidatonya “JANGAN WARISI ABU DARI PERJUANGAN INDONESIA !, JANGAN WARISI ABUNYA!!!,
tetapi WARISILAH API DARI PERJUANGAN INDONESIA!!!”
“Sudah
waktunya api Bhinneka Tunggal Ika dinyalakan di hati anak bangsa !!!”