26 August 2012

Bhinneka Tunggal Ika




Prolog :
Mpu Tantular yang hidup pada abad ke-14 di Majapahit adalah seorang pujangga ternama Sastra Jawa. Ia hidup pada pemerintahan raja Râjasanagara. Ia masih saudara sang raja yaitu keponakannya (bhrâtrâtmaja dalam bahasa Kawi atau bahasa Sansekerta) dan menantu adik wanita sang raja.
Nama “Tantular” terdiri dari dua kata: tan (“tidak”) dan tular (“tular” atau “terpengaruhi”). Artinya ia orangnya ialah “teguh”. Sedangkan kata mpu merupakan gelar dan artinya adalah seorang pandai atau tukang.
Tantular adalah seorang penganut agama Buddha, namun ia orangnya terbuka terhadap agama lainnya, terutama agama Hindu-Siwa. Hal ini bisa terlihat pada dua kakawin atau syairnya yang ternama yaitu kakawin Arjunawijaya dan terutama kakawin Sutasoma. Bahkan salah satu bait dari kakawin Sutasoma ini diambil menjadi motto atau semboyan Republik Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika” atau berbeda-beda namun satu jua
(Sumber :Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.)

I. KISAH SUTASOMA
 Pada zaman-zaman dahulu, Brahma-Wishnu-Ishwara menjelma dalam berbagai raja-raja di dunia,dan pada zaman kaliyuga turunlah Sri Jinapati (Buddha) untuk meredakan amarah Kala.
Buddha bereinkarnasi dan menitis kepada putra raja Hastina, prabu Mahaketu. Putranya ini bernama Sutasoma. Maka setelah dewasa Sutasoma sangat rajin beribadah, cinta akan agama Buddha (Mahayana). Ia tidak senang akan dinikahkan dan dinobatkan menjadi raja. Maka pada suatu malam, sang Sutasoma melarikan diri dari negara Hastina.
Maka setelah kepergian sang pangeran diketahui, timbullah huru-hara di istana, sang raja beserta sang permaisuri sangat sedih, lalu dihibur oleh orang banyak.
Setibanya di hutan, sang pangeran bersembahyang dalam sebuah kuil. Maka datanglah dewi Widyukarali yang bersabda bahwa sembahyang sang pangeran telah diterima dan dikabulkan. Kemudian sang pangeran mendaki pegunungan Himalaya diantarkan oleh beberapa orang pendeta. Sesampainya di sebuah pertapaan, maka sang pangeran mendengarkan riwayat cerita seorang raja, reinkarnasi seorang raksasa yang senang makan manusia.
Alkisah adalah seorang raja bernama Purusada atau Kalmasapada. Syahdan pada suatu waktu daging persediaan santapan sang prabu, hilang habis dimakan anjing dan babi. Lalu si juru masak bingung dan tergesa-gesa mencari daging pengganti, tetapi tidak dapat. Lalu ia pergi ke sebuah pekuburan dan memotong paha seorang mayat dan menyajikannya kepada sang raja. Sang raja sungguh senang karena merasa sangat sedap masakannya, karena beliau memang reinkarnasi raksasa. Kemudian beliau bertanya kepada sang juru masak, tadi daging apa. Karena si juru masak diancam, maka iapun mengaku bahwa tadi itu adalah daging manusia. Semenjak saat itu beliaupun gemar makan daging manusia. Rakyatnyapun sudah habis semua; baik dimakan maupun melarikan diri. Lalu sang raja mendapat luka di kakinya yang tak bisa sembuh lagi dan iapun menjadi raksasa dan tinggal di hutan.
Sang raja memiliki kaul akan mempersembahkan 100 raja kepada batara Kala jika beliau bisa sembuh dari penyakitnya ini.
Sang Sutasoma diminta oleh para pendeta untuk membunuh raja ini tetapi ia tidak mau, sampai-sampai dewi Pretiwi keluar dan memohonnya. Tetapi tetap saja ia tidak mau, ingin bertapa saja.
Maka berjalanlah ia lagi. Di tengah jalan syahdan ia berjumpa dengan seorang raksasa ganas berkepala gajah yang memangsa manusia. Sang Sutasoma hendak dijadikan mangsanya. Tetapi ia melawan dan si raksasa terjatuh di tanah, tertimpa Sutasoma. Terasa seakan-akan tertimpa gunung. Si raksasa menyerah dan ia mendapat khotbah dari Sutasoma tentang agama Buddha bahwa orang tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup. Lalu si raksasa menjadi muridnya.
Lalu sang pangeran berjalan lagi dan bertemu dengan seekor naga. Naga ini lalu dikalahkannya dan menjadi muridnya pula.
Maka akhirnya sang pangeran menjumpai seekor harimau betina yang lapar. Harimau ini memangsa anaknya sendiri. Tetapi hal ini dicegah oleh sang Sutasoma dan diberinya alasan-alasan. Tetapi sang harimau tetap saja bersikeras. Akhirnya Sutasoma menawarkan dirinya saja untuk dimakan. Lalu iapun diterkamnya dan dihisap darahnya. Sungguh segar dan nikmat rasanya. Tetapi setelah itu si harimau betina sadar akan perbuatan buruknya dan iapun menangis, menyesal. Lalu datanglah batara Indra dan Sutasoma dihidupkan lagi. Lalu harimaupun menjadi pengikutnya pula. Maka berjalanlah mereka lagi.
Hatta tatkala itu, sedang berperanglah sang Kalmasapada melawan raja Dasabahu, masih sepupu Sutasoma. Secara tidak sengaja ia menjumpai Sutasoma dan diajaknya pulang, ia akan dikawinkan dengan anaknya. Lalu iapun berkawinlah dan pulang ke Hastina. Ia mempunyai anak dan dinobatkan menjadi prabu Sutasoma.
Maka diceritakanlah lagi sang Purusada. Ia sudah mengumpulkan 100 raja untuk dipersembahkan kepada batara Kala, tetapi batara Kala tidak mau memakan mereka. Ia ingin menyantap prabu Sutasoma. Lalu Purusada memeranginya dan karena Sutasoma tidak melawan, maka beliau berhasil ditangkap.
Setelah itu beliau dipersembahkan kepada batara Kala. Sutasoma bersedia dimakan asal ke 100 raja itu semua dilepaskan. Kerelaan ini sangat menyentuh hati Kala, bahkan Porusada pun menjadi terharu. Dewa Siwa yang menitis pada Porusada akhirnya meninggalkan tubuh raksasa itu, karena disadarinya bahwa Sutasoma adalah Buddha sendiri. Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran agama).
(Sumber : Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi, 1952).

 II. SUTASOMA dan BUNG KARNO
            SUATU malam di tahun 1962, bertempat di Pura Ubud, tatkala langit Pulau Dewata cerah bermandikan cahaya purnama. “Saya sangat terkesan dengan ucapan Sutasoma tadi,” kata Bung Karno usai pementasan wayang sambil menghampiri I Nyoman Granyam, seorang dalang dari Sukawati, yang khusus diundangnya untuk melakonkan Porusaddhasanta (Porusada yang ditenangkan) atau yang lebih dikenal dengan lakon Sutasoma itu.
            Lalu Bung Karno mensitir ungkapan bahasa Jawa kuno yang dimaksud, “Nanging hana pamintaku uripana sahananing ratu kabeh” (Tetapi permohonanku, hidupkanlah raja-raja itu semua). Itulah ucapan Sutasoma kepada raksasa Porusada, sambil menyerahkan dirinya sebagai santapan Kala, asal seratus raja itu dibebaskan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Dari karya Tantular ini berasal istilah “bhinneka tunggal Ika” yang menjadi simbol dalam Lambang Burung Garuda Indonesia-ungkapan yang menurut Dr Soewito dalam tulisannya Sutasoma, A Study in Javanese Wajrayana (1975)- “is a magic one of great significance and it embraces the sincere hope the whole nation in its struggle to become great, unites in frame works of an Indonesian Pancasilaist community”.
2.Perhatian yang diberikan Bung Karno pada ucapan Sutasoma “Mangka Jinatwa lawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa (Hakikat Buddha dan hakikat Siwa adalah satu, berbeda-beda dalam perwujudan eksoterisnya tetapi secara esoteris satu. Tidak ada dualisme dalam kebenaran ketuhanan)”. Yang kedua ini menjadi sangat penting sebab inilah yang menjadi akar keyakinan agama-agama yang ada di Indonesia, sebagaimana sesuatu akar keyakinan yang dipegang oleh Bung Karno selama hidupnya. (Sebagian menganggapnya sebagai faham Pantheisme),
3. Perhatian yang diberikan Bung Karno pada kisah Sutasoma yang rela mengorbankan dirinya sendiri demi selamatnya seratus raja. Merupakan symbol dari pemecahan masalah kemajemukan bangsa (Pluralitas) dimana banyak raja-raja yang akan “selamat” tetap hidup, alias tidak dimatikan meski dengan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adanya Negara kesatuan dengan tetap menghormati akan hak para raja-raja, seperti Raja dari Keraton Jogjakarta sebagai salah satu daerah istimewa, dan juga Raja-raja diseluruh kerajaan di Indonesia. Tidak ada yang dimatikan dengan adanya Negara kesatuan republik Indonesia. Sebab itu, maka istilah “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai lambang pemersatu bangsa menjadi luar biasa tepatnya sebagai sebuah refleksi dari cerita Sutasoma di masa Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Dan seolah menjadi keyakinan yang mendarah daging pada diri Bung Karno, ternyata jalan yang sama seperti yang ditempuh Sutasoma akhirnya ditempuh oleh Bung Karno demi menyelamatkan bangsanya dari pecahnya “perang saudara” pasca-Gestok (Gerakan 1 Oktober) 1965. “Seorang anak revolusi akan dimakan oleh api revolusinya sendiri”, demikian kurang lebih ucapan Bung Karno. Dan seperti Sutasoma, Bung Karno justru menyerahkan dirinya sendiri, rela tenggelam demi keutuhan bangsa dan negaranya. “Cak Ruslan, saya tahu saya akan tenggelam. Tetapi ikhlaskan Cak, biar saya tenggelam asalkan bangsa ini selamat, tidak terpecah belah”, tegasnya kepada Ruslan Abdulgani.

II.1. Bung Karno di mata kawan dan lawan politiknya
 Bung Karno adalah sosok yang kontroversial. Di mata lawan-lawan politiknya di Tanah Air-nya sendiri, sebagian menganggap ia mewakili sosok politisi kaum abangan yang “kurang islami”. Mereka bahkan menggolongkannya sebagai gembong kelompok “nasionalis sekuler”. Akan tetapi, di mata Syeikh Mahmud Syaltut dari Cairo, penggali Pancasila itu adalah Qaida adzima min quwada harkat al-harir fii al-balad al-Islam (Pemimpin besar dari gerakan kemerdekaan di negeri-negeri Islam). Malahan, Demokrasi Terpimpin, yang di negerinya sendiri diperdebatkan, justru dipuji oleh syeikh al-Azhar itu sebagai, “lam yakun ila shuratu min shara asy syuraa’ allatiy ja’alha al-Qur’an sya’ana min syu’un al-mu’minin” (tidak lain hanyalah salah satu gambaran dari permusyawaratan yang dijadikan oleh Al Quran sebagai dasar bagi kaum beriman).
 Di mata lawan politiknya di Barat, seperti tampak dari ucapan Willard A Hanna, Bung Karno adalah “politisi tanpa identitas dan tanpa prinsip, yang berpadu dalam dirinya nabi dan playboy, tukang sulap dan tukang obat”. Tetapi, orang-orang Arab menamakannya Ra’is, dan orang-orang Mesir di Kota Cairo menjulukinya al-Hakim. Tak seorang pun meragukan popularitasnya di negeri-negeri Islam itu. Nama besar Bung Karno diabadikan antara lain dalam Qamus al-Munjid. Konon, hanya dua tokoh Indonesia yang dicatat dalam kamus karya Louise Ma’louf, seorang Arab-Kristen itu. Soekarno, dan satunya lagi Syeikh Nawawi al-Banteni. Sampai-sampai sekarang ini di Rusia, nama Indonesia sendiri kurang dikenal, tetapi kalau nama Soekarno yang disebut, baik yang muda maupun yang tua mereka tahu. Bung Karnolah justru yang pernah mensitir ayat al Quran di sidang PBB yakni surat Hujurat 13, tentang penciptaan manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal, sedangkan Negara-negara yang menyatakan diri mereka Negara Islam malahan tidak pernah menyampaikan ayat al Quran ketika bersidang di PBB. Dan ayat al Hujurat 13 ini yang konon kemudian diabadikan di tempat sidang PBB.
            Tatkala memuncaknya ketegangan antara Israel dan negara-negara Arab soal status Palestina, pers sensasional Arab yang salah paham dengan pencabutan sebutan Deicidium (pembunuh Tuhan) kepada kaum Yahudi, menyambut Bung Karno, “Juara untuk kepentingan-kepentingan Arab telah tiba”. Pada pihak lain, Tahta Suci Vatikan sendiri memberikan kepadanya tiga gelar penghargaan kepada presiden pertama dari Republik yang mayoritas Muslim itu.
(Sumber : Kompas CyberMedia, Jumat, 1 Juni 2001)

II.2. Keyakinan Religius Bung Karno
 Relevansi mengemukakan keyakinan religius Bung Karno ini, terkait erat dengan peranannya dalam menentukan masa depan Indonesia, berangkat dari pluralisme agama yang merupakan problem tersendiri di Negara Indonesia. Kenyataan ini dikemukakan, dengan sepenuhnya menyadari bahwa mengemukakan spiritualitas Bung Karno adalah juga merupakan bagian dari kontroversi itu sendiri.
 ”Gaya religius Soekarno adalah gaya Soekarno sendiri,” tulis Clifford Geertz dalam Islam Observed (1982). Betapa tidak? Kepada Louise Fischer, Bung Karno pernah mengaku bahwa ia sekaligus Muslim, Kristen, dan Hindu. Di mata pengamat seperti Geertz, pengakuan semacam itu dianggap sebagai “bergaya ekspansif seolah-olah hendak merangkul seluruh dunia”. Sebaliknya, ungkapan semacam itu-menurut BJ Boland dalam The Struggle of Islam in Modern Indonesia (1982)-”hanya merupakan perwujudan dari perasaan keagamaan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya Jawa”. Bagi penghayatan spiritual Timur, ucapan itu justru “merupakan keberanian untuk menyuarakan berbagai pemikiran yang mungkin bisa dituduh para agamawan formalis sebagai bid’ah”.
            Ungkapan Bung Karno ini, di mata para penghayat tasawuf bukanlah hal yang asing. Seperti apa yang disampaikan oleh Ibn Al-’Arabi (1076-1148) mendendangkan kesadaran yang sama. “Laqad shara qalbiy qabilan kulla shuratin, famar’a lighazlanin wa diir liruhbanin wa baytun li autsanin wa ka’batu thaifi wal wahu tawrati wa mushafu qur’anin” (Hatiku telah siap menerima segala simbol, apakah itu biara rahib-rahib Kristen, rumah berhala, Kabah untuk thawaf, lembaran Taurat atau mushaf Al Quran).
 Demikian juga dengan istilah yang seolah berlawanan tetapi sama dengan apa yang disebutkan di dalam salah satu syair Jalalludin Rumi,”Tidak kutemukan Tuhan di atas tiang salib, tidak kutemukan Tuhan di dalam Vihara dan Klenteng, tidak juga kutemukan Tuhan di dalam Ka’bah melainkan kutemukan Tuhan dihati orang-orang suci”
            Ketika menerima gelar doctor honoris causa (doktor kehormatan) di Universitas Muhammadiyah, Jakarta, Bung Karno menyebut bahwa tauhid yang dianutnya sebagai Panteis-monoteis. Bung Karno yakin bahwa Tuhan itu satu, tetapi Ia hadir dan berada di mana-mana. Tentu saja di kalangan Islam dan Kristen, istilah pantheisme ini sebagian mengundang menjadi salah paham. Kontan saja, orang langsung menghubungkannya dengan sosok legendaris Syekh Siti Jenar, “Al-Hallaj”-nya orang Jawa yang mengatakan,”Siti Jenar tidak ada yang ada adalah Allah”, atau al Hallaj yang mengatakan,”di balik jubahku ini yang ada adalah al Haq”, atau dengan apa yang disampaikan oleh Syech Yazid Bustami,”Laa ilaha ila anna, fa’budni”,”Tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah Aku” (kutipan dari Al Quran surat Thoha 14), dan coba bandingkan dengan ajaran Hindu Tat Twam Asi (Aku adalah dia, dia adalah aku). Atau apa yang diyakini oleh Katolik,”Abba ya Bapa” “Bapa didalam aku dan aku di dalam Bapa”
 Sebagaimana juga apa yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali (wafat 1111), At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai’in ilallah (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Allah dalam segala sesuatu). Juga, menurut Ibn al-’Arabi, segenap alam semesta adalah tajjali atau penampakan dari Allah. Atau kadang juga para sufi menyatakan dengan istilah Laa Maujuda ilalloh, Tidak ada yang wujud melainkan hanya Allah semata. Dzat Wajibal wujud. Sebagian menyebut faham ini dengan istilah Wujudiyah atau juga Wahdatul Wujud.
Keyakinan ini sesuai dengan apa yang disebutkan di dalam al Quran,”Kemana engkau menghadap di situ yang tampak wajah Allah”
Atau sesuai dengan apa yang disampaikan oleh sahabat Abu bakar Shiddiq, “Sebelum aku melihat sesuatu di situ aku melihat Allah”,
Atau seperti yang disampaikan oleh Umar bin Khottob,”Saat aku melihat sesuatu di situ aku melihat Allah”,
Atau juga seperti yang disampaikan oleh Ali kwh, “Setelah aku melihat sesuatu, aku melihat Allah”,
Semuanya sama meski istilahnya berbeda-beda, sebab mereka semua fokus lahir bathinnya, segenap jiwa dan raganya hanyalah terfokus dan tertuju kepada Allah semata.
Ini yang kemudian menjadi sila yang pertama dalam Pancalisa “KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

II.3. Nasionalisme Bung Karno adalah Nasionalisme Agamis
 Berangkat dari keyakinannya terhadap agama Islam itulah, maka Bung Karno faham benar akan keutamaan “Bakti kepada Orang tua”, “Cinta Tanah Air bagian dari Iman”,dll. Mencintai sesama berarti mencintai Tuhan, bahkan mencintai alam berarti mencintai Pencipta-Nya. Dan cinta Bung Karno terhadap kosmos itu diawali dari Bumi tempat kakinya berpijak, Bumi pertiwi Indonesia yang disapanya dengan takjub dan hormat sebagai “Ibu”.
Lebih jelas lagi, kita bisa mengikuti deskripsi Bung Karno mengenai nasionalisme Indonesia yang diungkapkan begitu berapi-api: “Bukan saya berkata Tuhan adalah Indonesia”, kata Bung Karno, “tetapi Tuhan bagiku tercermin pula dalam Indonesia”. Singkat kata, di mata Bung Karno, perjuangan terhadap tanah air, bebasnya tanah air dari tanah penjajahan merupakan wujud perjuangannya di dalam membela “ibu” kandungnya, tempat dimana ia dilahirkan, dan merupakan perwujudan kecintaannya kepada Tuhannya yang diwujudkan melalui Cinta Tanah air. Perjuangan sampai titik darah terakhir demi bebasnya Ibu Pertiwi ini.
 Gambaran ini pulalah yang menyebabkan lambang Burung Garuda (Garudeya) dipilih sebagai lambing bangsa Indonesia. Di dalam kisah Garudeya, adalah seorang ibu (lambang ibu pertiwi) yang sedang ditawan oleh ular-ular raksasa, dan hanya anaknya, sang Garuda lah yang dapat membebaskan ibunya melalui pencarian terhadap air amarta, tirta kamandanu, air kehidupan atau dalam istilah al Quran ma’an ghodaqoh.
            Meski begitu, Bung Karno mengatakan, mensitir Gandhi, ” My Nasionalism is humanity”. Dan inilah yang kemudian menjadi sila ke 2 dari Pancasila, sila “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang merupakan wujud dari Nasionalisme di sila ke 3 ,”Persatuan Indonesia”.

II.4. “Pluralisme” spiritualitas Bung Karno
 Latar belakang keyakinan Soekarno seperti yang diuraikan di atas, sudah barang tentu membentuk dan menentukan sosialisasi pemikiran keagamaan selanjutnya. Meski begitu, religiusitas Bung Karno itu bukanlah sinkretisme (percampuran) agama-agama, pluralisme bukanlah sinkretisme agama, pluralisme bukanlah pencampuradukan agama-agama, dan inilah yang perlu untuk dipahami. Atau di dalam istilah Bambang Noorseha (tokoh Kristen Syiria ortodoks), keyakinan Bung karno adalah sebuah “melintas batas” (passing over) berbagai agama dan tradisi spiritual. Hal itu kata Bambang, tampak dari pidato-pidato tanpa teks, ketika ia mengemukakan perbandingan-perbandingan dari berbagai agama, tamsil-tamsil dari ajaran Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Ayat-ayat suci itu dikutipnya bahkan di luar komunitas agama yang menganutnya. Misalnya, tanpa ragu-ragu ia mengutip Injil atau Bhagawad Gita di forum Islam. Sebagaimana tanpa ragu-ragu pula ia mengutip firman Allah di al Quran ketika berpidato di depam anggota-anggota PBB.
            Masih menurut Bambang Noorseha, warisan keberagaman itu bukan diterimanya sebagai kontradiksi atau pertentangan, sebaliknya sebagai suatu kekayaan rohani berdasarkan kesadarannya akan kesatuan transendental agama-agama. Dalam menggembleng rakyatnya, Bung Karno, misalnya sering mengutip Al Quran. ar Ra’d 11:
Innallaha laa yughayiru maa bi qaumin hatta yughayiru ma bi anfusihim (Allah tidak mengubah nasib sesuatu kaum sehingga kaum itu mengubah sendiri nasibnya), tetapi  Bung Karno juga mengutip dari Bhagawad Gita (II,47) ketika menekankan prinsip yang sama: Karmany ewadhikaras te maphalesu kadacana (Berjuanglah dengan tanpa menghitung-hitung untung rugi bagimu).
 Bahkan Bung Karno pernah membuat terperanjat Mr Siegenbeek van Heukelom yang mengadilinya di Landraad Bandung tahun 1930. “Ik ben een revolutionaire” (Saya seorang revolusioner), tegas Bung Karno. Tetapi kata dia selanjutnya: “Ik werk niet met bommen en granaten” (Saya bekerja tanpa bom dan granat). Hakim kolonial itu sangat kaget, karena Bung Karno menyebut bahwa Yesus adalah seorang yang revolusioner, meskipun Ia bekerja tanpa kekerasan. “Revolusi”, kata Bung Karno, adalah “eine Umgestaltung von Grundaus” (perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam hal politik maupun dalam ajaran keagamaan. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno di luar kepala dapat menghapal Injil Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda.
 Bung Karno hanyalah salah satu dari mereka tokoh-tokoh Indonesia yang juga berpikiran sama, seperti Muh. Yamin, Hatta, H. Agus Salim, dll, yang telah begitu mendalami agama Islam dan juga mendalami agama-agama yang ada di Indonesia, juga termasuk masalah budaya-budaya yang ada di Indonesia, telah menyatukan bangsa Indonesia melalui kesepatakan/musyawarah dengan pemilihan symbol-simbol Pluralisme seperti Sang Merah Putih, Burung Garuda, Pancasila, semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang kesemuanya merupakan perekat kuat, bangsa Indonesia dengan kemajemukannya dalam agama, dalam suku, dalam budaya, dalam bahasa, dll.

III. Multikulturalisme dan Pluralisme
 Multikulturalisme lahir di Amerika sebagai perwujudan dari postmodernisme. Multikulturalisme adalah varian teori perbedaan (West,1998;Collins; Lemert,1993) yang mengambil ide dari gagasan postmodernisme bahwa perbedaan manusia secara analitis lebih penting ketimbang kesamaan mereka (Spivak, 1988;, Butler, 1990). Mengikuti Ferdinand de Sausure, Derrida menekankan bahwa kata dan konsep memiliki makna hanya dalam kaitannya dengan kata dan konsep lain yang membedakan mereka. Multikulturalisme mulai dari titik ini dan terus mengembangkan kritik masyarakat dan konsep masyarakat alternative yang secara fundamental berbeda dari Marxisme dan teori kritis Jerman. Multikulturalisme merayakan perbedaan sebagai satu kerangka kerja yang ada di dalamnya untuk menghargai banyak kelompok dan narasi khas mereka tentang pengalaman mereka. Terlebih lagi, multikulturalisme posmodern menyangkal kemngkinan menyatunya kelompok-kelompok yang berbeda ke dalam satu alasan bersama yang mulai mengubah struktur sosial secara keseluruhan.
            Teori sosial kritis menjelaskan kesadaran untuk melakukan perubahan social, dengan menyatakan bahwa perubahan social tidak dapat berlangsung dipundak individu-individu; sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme lebih dekat kepada liberalisme ketimbang ideologi kiri, demikian menurut Ben Agger (2003; 140-141)
Pluralisme secara bahasa berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di luar kelompok kita yang harus di akui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah faham tentang pluralitas, demikian definisi yang disampaikan oleh Richard J.Mouw dan Sander Griffon dalam bukunya Pluralisme  & Horizon (1993:13). Pengertian seperti ini, menurut mereka, akan lebih bermakna ketika seseorang mengakui dan meyakini bahwa ada sesuatu yang penting untuk dikatakan mengenai banyaknya perbedaan itu.
 Namun demikian menurut Nurcholis Madjid (Rachman, 2001; 31), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar  kebaikan negative, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility).
             Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2000) disebutkan bahwa pluralisme dapat dipahami sebagai “the existence of many different group ini one society, for example people of different races or different political or religious beliefs: cultural or political pluralism”. Jadi Pluralisme adalah keberadaan atau toleransi keberagaman etnik atau kelompok-kelompok cultural dalam suatu masyarakat atau Negara, serta keberagaman kepercayaan atau sikap dalam suatu badan, kelembagaan dan sebagainya. Definisi seperti inilah yang menurut Masykuri Abdillah, mengandung pluralisme social atau primordial (Achmad, 2001:11). Untuk merealisasikan dan mendukung konsep tersebut diperlukan adanya toleransi. Sebab toleransi tanpa sikap pluralistik tidak akan menjamin tercapainya kerukunan antarumat beragama yang langgeng, begitupun sebaliknya.
 Dari penjelasan di atas, yakni tentang Multikulturalisme dan Pluralisme, maka bisa dipahami perbedaan prinsipnya adalah Multikulturalisme berakar dari individualistik, liberal, yang memahami perbedaan kultur, memahami perbedaan atau kekayaan perbedaan agama, politik, ideology, dan lain-lain, hanya sebatas memahami untuk tidak timbulnya benturan akibat perbedaan-perbedaan tersebut (pasif-liberalis), berbeda dengan Pluralisme yang memahami adanya perbedaan-perbedaan untuk kemudian pemahaman itu ditingkatkan menjadi toleransi dan tolong menolong, gotong royong antar umat beragama, bukan dari sisi pencampuradukan ajaran agama (sinkretisme), melainkan dari sisi umat dan kemanusiaannya (bersifat aktif-participatif). Dan ini sesuai dengan apa yang sudah dicanangkan bangsa Indonesia melalui Undang-Undang dasar 45 pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas keTuhanan YME” ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Inipun sesuai dengan symbol yang ada di lambang burung  Garuda Pancasila yakni “Bhinneka Tunggal Ika” “meski berbeda-beda tetap satu jua”. Juga sesuai dengan sila pertama Pancasila yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Bung Karno pernah menyampaikan bahwa beliau menggali sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” ini dalam sekali, mulai masa Hindu, Budha, dan masa Islam yang sekarang ini di Indonesia. Dari galian sejarah bangsa yang sebagian sudah penulis tulis di atas itulah, kemudian diangkat oleh Bung Karno sebagai dasar Negara kita yaitu Pancasila di  sila yang pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” (1964; 67). Inti dari kultur bangsa Indonesia menurut Bung Karno adalah terletak pada “gotong royong”, yaitu sikap yang memiliki toleransi tinggi, saling tolong menolong di antara sesama penduduk Indonesia, tanpa memandang adanya perbedaan etnis, agama, ekonomi,dan lain-lain. Inilah akar dari sikap bangsa Indonesia yang meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua “Bhinneka Tunggal Ika”

IV. Epilog
 Dari penjelasan di atas, maka menurut penulis, bahwa lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep “Bhinneka Tunggal Ika” itu sekarang lebih sering atau lebih tepat dikatakan merupakan faham Pluralisme, yang bukan berarti Sinkretisme maupun Multikulturalisme. Inilah yang lebih cocok dengan sejarah bangsa Indonesia, yang lebih cocok dengan keberagaman Indonesia, dan yang lebih cocok dengan semangat dan jiwa bangsa Indonesia maka dimasa keadaan bangsa Indonesia sekarang ini yang sudah tampak kecondongan terpecah belah, individualis dengan dalih otonomi daerah, tidak lagi muncul sifat tolong menolong atau gotong royong, semangat “Bhinneka Tunggal Ika” perlu untuk di sosialisasikan lagi. Api dari Persatuan Indonesia melalui “Bhinneka TUnggal Ika” perlu untuk dinyalakan lagi di hati anak bangsa. Dan dibagian terakhir ini saya ingat apa yang pernah disampaikan oleh Bung Karno dalam salah satu pidatonya “JANGAN WARISI ABU DARI PERJUANGAN INDONESIA !, JANGAN WARISI ABUNYA!!!, tetapi WARISILAH API DARI PERJUANGAN INDONESIA!!!”
“Sudah waktunya api Bhinneka Tunggal Ika dinyalakan di hati anak bangsa !!!”