07 May 2012

Anak Anda Jadi Penjahat, Jangan Salahkan Dia



Anak dilahirkan ke dunia tanpa dosa, jiwanya masih suci, dan belum mengerti apa pun. Ibarat flash disk kosong, otak dan pikirannya belum terisi apa-apa. Dia cuma bisa menangis bila lapar dan haus, tak ada satu perkataan pun yang keluar dari mulutnya kalau dia menginginkan sesuatu, bisanya cuma menangis dan menangis. Sebagai flash disk kosong tentu Anak akan menyerap apa pun setiap yang dia lihat dan dengar dari sekelilingnya.

Setiap kelahiran anak pasti orang tua selalu berharap banyak untuk si anak. Orang tua ingin anaknya menjadi baik, soleh, pintar, berprestasi, dan kelak menjadi orang yang sukses ketika dewasa. Tak ada orang tua yang mengharapkan anaknya jadi nakal, bodoh, dan menjadi penjahat ketika dewasa. Kalau ada orang tua yang berharap tak baik untuk anaknya, saya yakin orang tua itu pasti tak waras.

Kenyataannya, buah tak selalu berhasil dipanen, ada yang busuk, dimakan hama, dan ada pula yang tak manis alias asem. Demikian pula dengan sang anak, dia tak selalu menjadi sosok yang diharapkan seperti doa setiap orang tua ketika si anak lahir ke dunia. Ada yang menjadi pencuri, perampok, pemerkosa, pembunuh, koruptor, dan penjahat-penjahat lainnya. Dunia pun tak aman, dipenuhi dengan orang-orang jahat yang selalu meresahkan penghuninya.

Efek berantai pun terjadi hingga sepanjang umur dunia. Anak yang dilahirkan dalam keluarga penjahat tentu akan dididik dengan cara-cara penjahat pula kecuali kalau si anak sedari kecil diadopsi oleh keluarga baik-baik yang menerapkan kaidah keagamaan yang kuat. Demikian seterusnya, seperti kata pepatah “Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”, sifat-sifat anak biasanya menurun dari sifat orangtuanya. Orang tua sering tak menyadari kelakuan apa yang pernah dia tunjukkan kepada si anak. Sebagai anak, dia akan selalu melihat, meniru, dan menerapkan apa yang dia lihat dan rasakan dalam keluarganya. Awalnya dia melihat, kemudian meniru, setelah itu menjadi suatu kebiasaan atau habit yang kelak dia bawa ketika dewasa.
Seorang teman saya pernah berkata, anak perempuannya yang berumur tujuh tahun sifatnya keras, segala sesuatu yang menjadi keinginannya harus dituruti, kalau tidak dia akan menangis sejadi-jadinya, tak mau makan, dan tak mau menuruti apa kata-katanya. Akhirnya, hampir semua keinginan anaknya dia turuti, maklumlah namanya juga anak-anak, demikian alasannya kepada saya.

Sebenarnya, hampir sebagian besar dari orang tua selalu beralasan demikian, tak hanya teman saya itu untuk menutupi kenakalan anaknya. Kalau sudah begitu, si anak pun akan merasa superior di hadapan orang tuanya. Dia akan selalu melakukan tindakan yang sama ketika menginginkan sesuatu dan membuat seolah orang tuanya tak berdaya. Bahkan ada orang tua yang merasa tak tega ketika mengatakan “Tidak” kepada anaknya. Orang tua pun banyak mengeluh ketika anaknya suka bertindak tak disiplin, malas belajar, dan ogah ke sekolah. Parahnya, ada orang tua yang tak ambil pusing dengan hal ini, dia selalu berlindung di balik jargon “Namanya juga anak-anak, ntar juga berubah kalau sudah besar”.

Sebagai orang tua saya juga mengalami kesulitan dalam mendidik anak semata wayang saya. Untungnya, istri saya punya cara sendiri untuk mendisiplinkan anak saya itu. Misalnya, setiap anak pasti sangat sulit disuruh belajar, mengulang-ngulang pelajaran di sekolah. Maunya main terus, apalagi kalau sudah keranjingan nonton TV, main PS maupun PSP, hingga game online. Anak saya pun tak luput dari perilaku demikian. Cumanya, istri saya selalu membiasakan dia belajar setiap hari sehabis magrib (selesai makan malam) hingga pukul sembilan atau menjelang dia tidur di jam tersebut. Kegiatan ini secara konsekuen terus dilakukan setiap hari hingga menjadi suatu kebiasaan yang kalau ditinggalkan seperti ada yang kurang.

Demikian pula saat sholat, sikat gigi, waktu bermain, nonton tv, makan, mandi, dan tidur, semuanya dijadwalkan sesuai aturan. Penerapan disiplin secara konsekuen dan rutin memang diharuskan. Kalau tidak, anak akan menganggap semua aturan itu tak penting dan boleh dilanggar. Orang tua juga tak bisa menerapkan peraturan yang ambigu terhadap anak. Di satu sisi kita melarang anak kita untuk melakukan hal-hal yang melanggar kedisiplinan seperti bangun tidur tidak tepat waktu dan buang sampah sembarangan, sedang di sisi lain kita suka melanggar aturan-aturan tersebut.

Sejak kecil, saya pun tak selalu menuruti keinginannya kalau dia menginginkan sesuatu yang menurut saya tak penting dan tak bermanfaat buat dia. Memang, dia menangis sejadi-jadinya. Sebagai orang tua, saya tak membujuknya untuk diam, saya biarkan dia menangis menumpahkan semua kekesalannya. Dalam batas tertentu, dia pun akan berhenti menangis, dan diam. Setelah beberapa saat, saya akan mendekatinya dan menjelaskan alasan saya kenapa tak menuruti keinginannya. Walau dia diam, paling tidak dia tahu dan paham kenapa saya bertindak demikian.
Memang, banyak cara yang dilakukan orang tua untuk mendidik anak-anaknya, ada yang menerapkan gaya militer, fleksibel, bahkan ada juga yang lebih mengutamakan permisivitas pada anak-anaknya, semuanya diserahkan ke si anak maunya apa karena anaklah yang akan menuai risiko di setiap pilihannya. Kalau sudah begitu, jangan salahkan anak Anda kalau dia kelak jadi penjahat sebagai pilihan hidupnya.

Di masa depan kita memang tidak tahu kelak akan menjadi apa mereka, apakah menjadi baik atau buruk. Namun, sebagai orang tua saya sudah mencoba berusaha menanamkan nilai-nilai baik dalam diri mereka, membangun pondasi kebaikan yang kuat biar tak mudah terombang-ambing oleh lingkungan sekelilingnya. Faktor lingkungan juga sangat berpengaruh kuat terhadap kepribadian si anak, tapi bila mereka memiliki pondasi kebaikan yang kuat mudah-mudahan mereka tak mudah dipengaruhi.

Sumber :  http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/06/anak-anda-jadi-penjahat-jangan-salahkan-dia/