21 January 2015

Ya Rahman ya Rahim

Ya Rahman ya Rahim
Ya tuhan yang maha pengasih maha penyayang
Rahmat yang Engkau limpahkan kepada segenap penghuni bumi
yang meluapi kalbu ibu yang menjalin cinta para kekasih
yang menjadikan orang saleh mengasihi kaum papa
yang mendorong pejuang memihak kepada kaum tersisih
yang membuat bocah mengulurkan koin kekayaannya kepada pengemis tua
yang menggerakkan rasa iba pelacur melihat anak anjing yang dahaga
yang menjelma kasih sayang dan mendamaikan pergaulan antara sesama hamba hingga induk kuda yang berhati hati meletakkan kakinya agar tak menginjak anaknya
hanyalah satu bagian dari seratus bagian rahmatMu seratus bagian kasih sayangMu
sembilan puluh sembilan sisanya Kau simpan sendiri untukMu Bagi Merahmati siapa saja yang Engkau kehendaki dan RahmatMu meliputi apa saja
langit.. tanah.. laut... sungai sungai... telaga.. matahari.. bulan dan bintang bintang
gunung gunung... bebatuan... tetumbuhan dan binatang binatang mensyukuri rahmat penciptaanMu
dan kehidupan yang Engkau kurniakan dan kepasrahan mengikuti hukumMu
semuanya mengabdi kepada khalifahMu sebagai sujud mereka kepadaMu

maka rahmatMu yang terbesar Engkau anugerahkan kepada Adam kemudian anak cucunya yang Engkau muliakan menjadi khalifahMu di muka bumi ini
maka dari rahmatMu yang Engkau anugerahkan Adam pun menebar kasih sayang
tapi ya Allah, Habil anak pertama Adam yang saleh dipukul kepalanya oleh Qabil saudaranya sendiri hingga mati karena iri
Fir'aun dibutakan kekuasaan dan melalimi rakyatnya sendiri
Qarun diseret keserakahannya dan menggusur sana sini
Abu Jahal di bakar keangkuhan dan kebodohannya menyebarkan provokasi kesana kemari

Kini.. masyaAllah ketika rahmatMu membuat manusia semakin pandai
Qabil Qabil
Fir'aun Fir'aun
Qarun Qarun
Abu Jahal Abu Jahal
berlahiran kembali bagai kelinci memenuhi pelosok pelosok bumi
dengan kepandaian mereka, Qabil Qabil mampu tampil dengan wajah Habil
Fir'aun Fir'aun dalam wajah Musa, Qarun Qarun dalam wajah Harun
Abu Jahal Abu Jahal dalam wajah 'Umar
dengan kepandaian mereka , kejahatan mereka pun semakin canggih kemasannya
semakin dahsyat
akibatnya..
atas nama perdamaian mereka mengobarkan perperangan
atas nama kemerdekaan mereka melestarikan perbudakan
atas nama kasih sayang mereka menyebarkan kebencian
atas nama hak asasi manusia mereka membantai kemanusiaan
bahkan tak segan segan atas namaMu ya tuhan mereka membasmi nilai nilai yang Engkau amanatkan
maka khalifah lautpun dengan canggih menguras laut
khalifah pantai dengan rapi mengotori pantai
khalifah hutan dengan lihai membabati hutan
khalifah gunung dengan pandai meledakkan gunung
khalifah bumi dengan tekun menghacurkan bumi
khalifah perdaban dengan santun memerosotkan peradaban
khalifah kemanusian dengan bangga merendahkan kemanusiaan
khalifah kehidupan dengan tega membunuh kehidupan
aku jadi sangat merindukan nabi nabi yang Engkau utus menebarkan rahmat dan kasih sayang
yang menghabiskan hidupnya untuk memerangi kebodohan dengan kearifan,
memerangi keterbelakangan dengan akal budi,
memerangi kebencian dengan kasih sayang,

oh Allah tuhanku yang Pengasih tuhanku yang Penyayang
ampunilah kami, kami yang Engkau anugerahi Negeri bagai miniatur sorga
kinipun dengan gila dengan api kedengkian dengan api dendam dengan api kebencian hendak menjadikannya neraka

oh Allah ulurkanlah tangan rahmatMu dengan segera kepada kami
kami bangsa budak yang terlalu lama diperbudak dan dengan rahmatMu Engkau merdekakan kembali
namun budak budak belum siap merdeka,
hamba hamba belum mampu mensyukuri kurnia,
budak budak yang tiba tiba merdeka terpesona oleh kekuasaan dan saling memperebutkannya malah banyak yang menyaingiMu
merasa paling berkuasa
merasa berhak menghidupkan dan mematikan
bahkan merasa berhak membagi bagikan sorga dan neraka

oh Allah ampunilah kami
ulurkanlah tangan rahmatMu dengan segera kepada kami
bila satu bagian dari rahmatMu yang engkau peruntukkan bagi penghuni bumi terus diperangi dan kasih sayang terkecundang
hanya rahmat dari sisiMu jua harapan kami
ulurkanlah tangan rahmatMu kembali kepada kami
apabila apa yang menimpa kami saat ini adalah azab akibat dosa dosa kami
ya Allah Engkau maha Pengampun, kami mengaku dan bertobat semampu kami
ampunilah kami
kami tau betapapun besar dosa kami, dalam lautan ampunanMu pasti tidak berarti
dosa dosa kami sebesar apapun tak sedikit jua mengurangi kebesaranMu
pengampunanMu atas dosa dosa kami tak sedikitpun mengurangi keagunganMu
hanya Engkau yang dapat mengampuni, hanya Engkau yang dapat merahmati
bila Engkau tolak kami dari pintuMu, pada pintu siapa lagi kami akan mengetuk?
Maka ya tuhan, bukakanlah pintu ampunan dan rahmatMu untuk kami
ampunilah kami dan para pemimpin kami
terimalah tobat kami dan sinarilah kembali bathin kami dengan cahaya hidayahMu
agar kami dapat melihat kebenaran dan mengikutinya
dapat melihat kebathilan dan menghindarinya
hidupkanlah kembali nurani kami dengan nur kasih sayangMu
agar kami dapat kembali saling mengasihi sesama
agar kami kembali menjadi manusia yang pantas Engkau muliakan sebagai hamba dan khalifahMu di bumi ini..
Allah ya tuhan kami
terimalah tobat kami dan kabulkanlah permohonan kami
amin.


Oleh KH.Ahmad Mustofa Bisri

20 January 2015

SEMBILAN NILAI DASAR PERJUANGAN GUS DUR

Selain bercerita tentang demokrasi, film "Di Bawah Bendera Demokrasi" juga menjelaskan tentang Sembilan nilai dasar perjuangan Gus Dur yang harus dipegang oleh para kawula muda, sebagai generasi penerus dalam mempertahankan demokrasi di Indonesia.

Hal tersebut dapat dipelajari saat acara Nobar yang diadakan oleh Gusdurian Yogyakarta, Sabtu (13/7) sore, di Radio Buku, Jl. Patehan Wetan 3, Yogyakatya. Adapun sembilan nilai dasar perjauangan Gus Dur tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, ketauhidan. Ketauhidan tidaklah didapatkan dari sekedar dikatakan dan dilakukan saja, melainkan juga disaksikan.


Kedua, kemanusiaan. Hal ini bersumber dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk paling mulia. Memuliakan manusia, berarti juga memuliakan Allah. Sebaliknya, jika memandang jelek manusia, maka berarti juga memandang jelek terhadap Allah.

Ketiga, keadilan. Keadilan tidak akan hadir dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan.

Keempat, kesetaraan. Hal ini bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan Tuhannya.

Kelima, pembebasan. Hal ini bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia punya tanggungjawab untuk melestarikan kesetaraan dan keadilan, agar terbebas dari belenggu.

Keenam, kesederhanaan. Seperti diketahui, bahwa Gus Dur merupakan sosok yang penuh kesederhanaan, namun kapasitas keilmuannya tidak dapat diragukan.

Ketujuh, persaudaraan. Mengapa Gus Dur begitu menjunjung tinggi persaudaraan? Karena persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban.

Kedelapan, kekesatriaan. Adapun karakteristik seorang ksatria adalah penuh tanggungjawab atas apa yang dijalaninya, konsekuen, serta istiqamah.

Kesembilan, kearifan lokal. Kearifan lokal perlu dijaga, wujudnya adalah terbentuknya Negara pancasila, UUD 1945 sebagai pijakan, Bhinneka Tunggal Ika, serta terakomodirnya nilai-nilai budaya Indonesia.

Sumber:
Ahad, 14/07/2013 10:05
Redaktur    : A. Khoirul Anam

Kontributor: Dwi Khoirotun Nisa’

EMPAT RETAKAN JIWA BANGSA NUSANTARA

PERAHU RETAK



‘Perahu Retak’ aslinya adalah judul sebuah lakon teater di awal 1980an yang berkisah tentang sejarah Nusantara pada awal abad 15. Inti kandungannya adalah kegagalan Bangsa (yang pernah sangat besar) Nusantara untuk menemukan kepribadian sosialnya sesudah punahnya kekuasaan besar Kerajaan Majapahit.

Kepribadian sosial bisa direntang ke hamparan konteks yang lebih luas. Misalnya, ideologi sosial, suatu landasan filosofis yang menentukan bagaimana sebuah bangsa mengambil keputusan di dalam membangun Kerajaan atau (sekarang) Negara, dengan segala perangkatnya, dari konstitusi, hukum, persambungan sosial-budaya, strategi sejarah, sistem perekonomian, hingga karakter kemanusiaan di dalam membangun atau memelihara kebudayaan, serta yang lebih besar: peradaban.


Mungkin lebih jelas kalau cara pandangnya kita tujukan langsung pada keadaan bangsa Indonesaia saat ini, yang kehilangan segala-galanya, kehilangan ukuran hampir di segala hal yang besar maupun yang kecil. Kehilangan dari kepribadian kebangsaan yang besar, kehilangan pengetahuan tentang diri sendiri sebagai bangsa, masyarakat maupun manusia. Kehilangan ilmu untuk mengolah sejarahnya, kehilangan pengetahuan untuk mengelola sosialitasnya, tidak mengerti kedaulatan rakyat, tidak memahami kepemimpinan, dan boleh dikatakan tidak apapun saja kecuali bernafsu mengejar materi dan harta benda, itupun salah berat konsepnya tentang materi dan harta benda.

Embrio kemusnahan kepribadian sosial Bangsa Nusantara itu dimulai secara substansial di akhir era Majapahit. Mulai retaknya kepribadian Bangsa Nusantara itu yang disebut ‘Perahu Retak’, di mana lakon teater ini berkisah tentang upaya ‘Seorang Pengelana’ untuk menghindarkan kemusnahan yang lebih total. Pengelana itu hadir di bumi sebagai Syekh Jangkung (ketika itu diperankan oleh Joko Kamto, yang juga memerankan Smarabhumi di ‘Tikungan Iblis’ dan Ruwat Sengkolo di ‘Nabi Darurat’).

***

Majapahit tidak hanya pernah membuat rakyatnya mencapai kesejahteraan, tapi juga kebesaran. Tak hanya kenyang, tapi juga bermartabat. Dan pangkal pencapaian ini terletak di tangan Mahapatih Gadjah Mada.

Kebesaran Gadjah Mada tidak bisa diregenerasi. Tidak bisa diulangi atau ditiru, kecuali secara parsial, dan itu sangat tidak memadai untuk memelihara martabat sejarah. Pertanian tulang punggung perekonomian Majapahit runtuh oleh semburan dan rambahan lumpur dari perut bumi di wilayah Canggu. Kenyataan itu membuat Majapahit pasti akan hancur meskipun tidak ada manusia lain di luar Majapahit.

Tanpa semburan lumpurpun kebesaran Gadjah Mada akan meretakkan psikologi rakyat Majapahit di era-era sesudahnya, karena semakin lama semakin mengalami degradasi oleh tiadanya tokoh sekaliber Gadjah Mada. Memelihara apa yang pernah diperjuangan dan kemudian dipanggul oleh Gadjah Mada sajapun tak mampu. Raja Majapahit terakhir, Nyoo Lay Wa (lebih tepat disebut Gubernur salah satu wilayah Kerajaan Demak) dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena dianggap tidak mampu membangkitkan kembali kebesaran Majapahit.

Sampai beberapa era, kebesaran Gadjah Mada masih merupakan kebanggaan bagi rakyat Majapahit. Tetapi sesudah Majapahit benar-benar mengalami “Sirno Ilang Kertaning Bumi”, kebesaran Gadjah Mada berubah menjadi trauma. Itulah salah satu retakan terpenting psikologi sejarah Bangsa Nusantara.

Hari ini, retakan itu sudah tidak bisa direkatkan kembali. Bangsa Indonesia bukan hanya tidak sanggup membangkitkan dirinya menjadi sebesar yang pernah mereka capai. Bahkan ummat manusia Republik Indonesia sekarang ini tidak percaya bahwa nenek moyang mereka pernah mencapai kebesaran sejarah di muka bumi. Anak-anak muda, bahkan banyak kalangan kaum intelektual, terutama cara berpikir Penguasa dan Media Massa, malah mengejek setiap ucapan yang menyebut kebesaran kita di masa silam.

Hari ini bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bangsa yang hidup tenteram dengan ketenangan untuk mengejek dirinya sendiri, bahkan penuh kebanggaan untuk menghina dan merendahkan dirinya sendiri.

***

Sunan Ampel dan seluruh Dewan Wali Sembilan sepakat mempercayakan kepada Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga untuk berjuang merekatkan kembali retakan-retakan yang terjadi pada Bangsa Nusantara.

Disain Kalijagan sangat dahsyat. Ia melakukan konsientisasi dan persiapan kebangkitan langsung ke diri Prabu Brawijaya V sendiri beserta keluarganya. Kemudian lapisan berikutnya: Angkatan Bersenjata Majapahit dan para Dewan Sesepuh Kerajaan. Kanjeng Sunan Kalijaga dengan tandas dan effektif serta dalam waktu yang relative singkat mengeksekusi transformasi Kerajaan Majapahit menuju Kesultanan Demak. Melakukan reformulasi kenegaraan dari Kerajaan Kesatuan ke Persemakmuran Perdikan-Perdikan. Dengan langsung menyebar kader-kader utamanya, yakni sebagian besar dari 117 putra Prabu Brawijaya V untuk menjadi Kepala-Kepala Tanah Perdikan di seantero Nusantara.

Sebagai contoh Harya Dewa Ketuk dijadikan Kepala Tanah Perdikan di Bali, Harya Lembu Peteng di Madura, Harya Kuwik di Kalimantan, Retna Bintara di Nusabarong, Jaka Prabangkara di Dataran Negeri Cina, serta berpuluh-puluh lain di berbagai ‘Negara Bagian’ dan rata-rata menjadi legenda di tempat masing-masing: Syekh Belabelu, Betoro Katong, Ki Ageng Mangir, dlsb. Puncak dari semua adalah putra Brawijaya V ke-13 Raden Jaka Praba atau Raden Patah diangkat oleh Kanjeng Sunan Kalijaga menjadi penerus Bapaknya dalam transformasi di Kasultanan Demak Bintoro.

Akan tetapi itu semua justru menunjukkan jenis retakan lain pada kejiwaan Bangsa Nusantara. Kanjeng Sunan Kalijaga tidak pernah menyangka hal itu, padahal beliau dianugerahi hidup dengan usia sangat panjang, melalui empat zaman di mana beliau berperan langsung sebagai Pemangku Sejarah.

***

Bangsa Nusantara tidak sanggup menanggung sekaligus empat tantangan di dalam jiwa dan alam berpikirnya.

Tantangan pertama, trauma kebesaran Gadjah Mada.

Kedua, tantangan yang berupa datangnya bangsa Portugis yang membayang-bayangi kedaulatan mereka, yang berkeliaran di lautan-lautan Nusantara tanpa mereka memiliki kepemimpinan, kesatuan dan peralatan sebagai di masa lalu tatkala Gadjah Mada memimpin.

Ketiga, datangnya alam pikiran baru, spiritualitas Bumi Langit baru yang berupa Agama Islam.

Keempat, ketidak-siapan mereka untuk mandiri dan otonom, untuk hidup dalam semacam Persemakmuran Kemandirian, dan bukan hidup menjadi satu kesatuan tidak di bawah Raja Besar sebagaimana di jaman kejayaan Majapahit.

Sirnanya kebesaran Majapahit membuat rakyatnya uring-uringan sendiri dan bertengkar sehingga bermunculan faksi-faksi sosial atau pengelompokan-pengelompokan yang bermacam-macam dengan tujuan untuk menyelamatkan dirinya masing-masing.

Datangnya kekuatan dari Eropa juga bukan mempersatukan mereka, melainkan menambah koloni-koloni untuk menyelamatkan diri masing-masing berdasarkan satuan-satuan sosial seketemunya saat itu. ‘Kelemahan’ sejarah mereka antara lain adalah karena jenis ekspansi kolonialisme yang dilakukan oleh Gadjah Mada bukan murni imperialism dan penjajahan kekuasaan, melainkan bersemangat pemersatuan dengan watak memangku semua wilayah yang dipersatukan. Sebab memang demikian filosofi dasar Bangsa Jawa sejak ribuan tahun sebelumnya. ‘Seharusnya’mereka lebih kejam, sehingga terlatih juga untuk mempertahankan diri terhadap kekejaman yang datang.

Datangnya Islam juga menimbulkan pemecahan sosial dalam satuan yang berbeda. Kekuatan dan kebijaksanaan yang diselenggarakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga sangat mencukupi muatan nilai-nilainya untuk mempersiapkan Bangsa Nusantara menjalankan transformasi, tetapi yang tak bisa ditaklukkan oleh Kalijaga adalah hakekat waktu. Bahwa Bangsa Nusantara memerlukan waktu yang panjang untuk menjadi Kaum Muslimin yang matang dan berpengalaman mengantisipasi tantangan-tantangan.

Pada saat yang sama Raden Patah memimpin mereka tidak dengan metoda dan kekuatan seperti Bapak dan kakek-kakeknya, karena beliau adalah salah satu murid utama Sunan Kalijaga yang mendidiknya berfikir secara ‘rahmatan lil’alamin’. Raden Patah menawarkan rintisan Demokrasi, otonomi daerah, peralihan cara berpikir dari ‘kawulo’ ke ‘khalifatullah’, persemakmuran yang saling berangkai, dan seterusnya. Dan ‘mantan’ rakyat Majapahit tidak siap.

***

Empat retakan atau berbagai ketidak-siapan itu melahirkan beragam-ragam perpecahan dan konflik. Ada konflik atas dasar hak kekuasaan, itu berlangsung di kalangan keluarga Kerajaan yang cabang-cabang pohon nasabnya sudah sangat besar dan lebar.

Ada konflik karena kepentingan tanah dan harta benda, yang membuat berbagai wilayah bekas Majapahit memisahkan diri: semangatnya bukan kemandirian dalam persemakmuran bersama, melainkan egosentrisme kekuasaan di lokal-lokal.

Ada juga yang sangat parah adalah konflik di wilayah tafsir Agama. Antara yang menolak Islam dengan yang menerima Islam. Antara yang menerima Islam sebagai suatu entitas menyeluruh dengan yang mengambil Islam untuk disinkretisasikan dengan ajaran-ajaran sebelumnya. Antara yang puritan menerima Islam tanpa kearifan budaya dengan yang merancukan Islam dengan tradisi budaya. Antara individu atau kelompok masyarakat yang kadar penerimaannya terhadap Islam berbeda-beda, bertingkat-tingkat.

Berbagai-bagai tema perpecahan merebak ke segala penjuru, menciptakan polaritas-polaritas baru yang bersaling-silang. Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan semacam “padatan Muhammad kecil” bekerja dan berjuang sangat keras dalam skema sosial yang penuh retakan-retakan semacam itu.

Meskipun beliau merambah ke delapan penjuru angin, memasuki bilik-bilik Kraton hingga mengurusi kaum tani di pelosok dan para gelandangan, ‘hanya’ berhasil menanam infrastruktur nilai-nilai sejarah baru yang sangat Islami dan dahsyat, namun memerlukan kontinyuasi dan akselerasi perjuangan pada para pelaku di zaman berikutnya.

Perjuangan Sunan Kalijaga itu bahkan ‘terganggu’ sangat serius oleh keras dan meluasnya konflik-konflik pada Masyarakat Nusantara yang semakin kehilangan kepribadian sosialnya. Beliau mengawal berdirinya Kesultanan Demak sampai beberapa Sultan, dengan keadaan di mana kepemimpinan Demak belum cukup matang untuk mensosialisasikan nilai-nilai Islam Kalijagan, dan pada saat yang sama rakyat Demak juga kurang terdidik untuk menjadi pelaku yang sadar dan aktif dari reformulasi Kalijagan.

Kiai Kanjeng Sunan juga kemudian mengawal kesultanan Pajang yang semakin mengalami degradasi nilai-nilai. Dan ketika kemudian Mas Karebet, Sultan Hadiwijaya, Raja terakhir Pajang, menyerahkan kontinyuasi kepemimpinannya kepada anak angkatnya, Sutawijaya, dengan mendirikan Kerajaan (bukan Kesultanan) Mataram, maka saat itulah lahir Indonesia….

***

Syekh Jangkung (nama aslinya Saridin, sari-nya ad-Din), Pengelana yang dikisahkan dalam “Perahu Retak” adalah cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga melalui Sunan Kudus muridnya.

Ia memohon diperkenankan mengakselerasi perjuangan Sunan Kalijaga yang saat itu sudah sangat sepuh. Syekh Jangkung mencoba melakukan recovery dan rekonstruksi kepribadian Islam Nusantara melalui Raden Mas Kalong (kalong: pengelana), putra sulung Pangeran Benowo, seorang yang seharusnya memegang kuasa untuk mengembalikan etos Demak di ujung Pajang.

Pangeran Benowo pergi menyingkir dari Kesultanan karena tidak tahan hati menyaksikan multi-konflik yang terus berlangsung dan makin parah. Sehingga kekuasaan kemudian dipegang oleh tokoh yang tidak berada pada garis nasab Majapahit (dan sempalan inilah yang kemudian menjadi Kraton Pakubuwanan dan Hamengkubuwanan yang masih ada sampai hari ini).

Syekh Jangkung mengajak Kalong berkeliling membangun Masyarakat Nusantara Baru, berusaha menyelesaikan berbagai konflik dengan metoda sebagaimana yang diajarkan secara sangat mendalam namun bijak oleh Kiai Kanjeng Sunan Kalijaga. Jangkung dan Kalong berusaha “memaiyahkan” Masyarakat Nusantara, namun jatah waktu kehidupan beliau tidak mencukupi, sebagaimana Sunan Kalijaga sendiri “seharusnya” berusia tiga kali lipat dari 126 tahun.

Mataram adalah Indonesia kecil yang “meresmikan” retakan-retakan mental dan cara berpikir Bangsa Nusantara. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Mataram besar yang memuncaki keretakan itu, sampai pada tahap bagaikan tiada lagi Nusantara ini, dari berbagai sudut pandang, cara pandang maupun jarak pandang.

Hari ini dan seterusnya, Anda semua para Jamaah Maiyah adalah Jangkung-Jangkung Kalong-Kalong yang sedang ditantang oleh sejarah.

Muhammad Ainun Nadjib
Yogya 6 Mei 2012.

Sumber: http://www.facebook.com/notes/komunitas-kenduri-cinta/empat-retakan-jiwa-bangsa-nusantara